Anak Pertama
Cucu Pertama
Cucu Kedua rasa Pertama
Pertama, kata yang diidam-idamkan oleh banyak orang dalam
beberapa bidang. Menjadi pertama, nomor satu, berarti yang utama. Pertama kerap
kali dihubungkan dengan yang terbaik, terbagus, dan
ter- apapun pokoknya.
Namun, bagaimana menjadi yang pertama dalam silsilah
keluarga? Apakah tetap sama ter-ter itu akan didapat?
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara
Aku adalah cucu pertama dalam keluarga Ibu
Dan
Aku menjadi cucu pertama bayangan sejak tahun lalu di
keluarga Ayah. Sejak cucu pertama yang asli, Alm. Aa Gugun, anak dari kakak ayahku, (baca: sepupu) meninggal dunia.
Entah mengapa aku menulis cerita ini secara tiba-tiba. Sebenarnya aku sering
memikirkan keadaanku yang dimana memikul tanggungjawab serba pertama ini. Namun,
baru kali ini aku terpikirkan untuk menuangkannya ke dalam tulisan.
Diriku, beratkah?
Ya. Tidak bisa dipungkiri rasa berat sering terlintas
dipikiranku.
Tapi, ini semua adalah takdir bukan. Sama seperti “Pertama”
yang lain. Beban menjadi contoh juga sering ku rasakan. “Tuh contoh kakak Tika” dan kalimat sejenis lainnya. Namun, bukan
bangga berlebih yang ku rasa (baca: sombong) melainkan keinginan untuk menepis.
Selama ini jika orangtua, kakek, nenek, atau tanteku menyuruh adik-adik yang
lain untuk mencontohku, aku sering memberi balasan “jangan contoh aku, jadi diri kalian sendiri saja”.
Bukan, bukan berarti aku tidak ingin menjadi seorang
panutan. Namun, aku hanya enek lama-lama
dan bukankah setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini mereka memiliki
spesialitasnya masing-masing?
Ah ya, ditambah aku menyadari jika diriku bukan anak yang
rajin-rajin amat, biarpun aku suka bersih-bersih dan terorganisir bisa dikata
hobi. Aku juga bukan anak yang terlalu membanggakan akademik. Apalagi nilai, aku
tidak peduli dengan stereotype masyarakat kita saat ini yang lebih membanggakan
nilai ketimbang kejujuran. Tidak heran, jika korupsi masih merajalela di negeri
ini.
Walaupun aku memiliki catatan akademik yang cukup untuk dikatakan
bagus. Hal ini yang sering dibandingkan dengan adik-adikku. Selama ini
jika mereka dibanding-bandingkan denganku respon mereka hanya bercandaan, toh namanya juga anak kecil.
Tapi, aku tetap tidak setuju dengan yang namanya
pembandingan.
Untuk tanggungjawab menjadi pertama ini, aku sanggup untuk
memikulnya. Dan aku akan membawa perubahan dalam lingkungan keluargaku agar aku
bisa menjadi seseorang yang memang patut
menyandang gelar pertama.
Don’t compare yourself
with anyone, even with your old bro/sist. Don’t do that. You’re special in your
own way :)
(Kartika Sofiyanti)
